Salah satu pendukung
perkembangan kesenian tari yang ada di Denpasar adalah dengan terdapatnya
sanggar tari yang membantu anak anak usia dini sampai remaja untuk mengenal,
belajar, serta mendalami tari-tari. Salah satu sanggar tari yang terkenal di
Denpasar adalah Sanggar Tari Bali Warini. Sanggar Tari Bali Warini didirikan
oleh Ni Ketut Arini. Berikut penjelasan tentang bu Arini.
Ni Ketut Arini lahir di
Denpasar, Bali, 15 Maret 1943. Sejak usia muda, dia sudah mendalami dunia
kesenian, utamanya seni tari dari pamannya. Meskipun awalnya, keluarganya tidak
mengizinkan dia menari karena postur tubuh dan kulitnya dianggap kurang
menarik, namun itu justru membuatnya bersemangat untuk terus belajar menari.
Minatnya itu kemudian diperdalam dengan melanjutkan pendidikan di Sekolah
Konservatori Kerawitan Indonesia Jurusan Bali (KOKAR BALI) dan Sekolah Tinggi
Seni Indonesia Denpasar. Di sekolah ini, ia mempelajari teknik tari Bali secara
teori dan praktik sebagai disiplin studi dan ekspresi seni, sehingga
pemikiran-pemikiran mengenai tari Bali semakin berkembang. Ia juga belajar
menari kepada Mario di Tabanan, Lokasabha di Gianyar, dan Biang Sengok, khusus
untuk tari Legong gaya Peliatan.
Tahun 1957, ia resmi menjadi
penari Bali saat terpilih menjadi Sang Hyang Dedari di Banjar Pande, Desa
Sumerta Kaja (Denpasar-Bali). Hal ini merupakan kebanggaan bagi dirinya, karena
penari pada waktu itu sangat dihormati dan dianggap sakral pada saat akan
menari. Di usia 14 tahun ia sudah mengajar tari di berbagai sanggar tari. Pada
perkembangannya, Ni Ketut Arini kemudian dikenal sebagai maestro tari Condong,
yang mengisahkan tokoh pembantu putri raja. Tokoh pembantu ini selalu
ditampilkan pada drama tari Bali sesuai perkembangan zamannya, mulai tari
Gambuh (drama tari dengan dialog), tari Arja (drama tari dengan nyanyian), dan
Legong (tari yang diiringi gamelan pelegongan).
Selain Condong, ia juga
menghidupkan kembali tari Legong Klasik yang nyaris ditinggalkan penerusnya. Di
Bali, ada 14 gaya tari Legong Klasik, dan ia menguasai enam di antaranya, yaitu
Legong Pelayon, Lasem, Kuntul, Kuntir, Jobog, dan Semarandhana. Keenam tarian
itu ia ajarkan di sanggarnya, Warini. Muridnya tak hanya datang dari sekitar
sanggar, tetapi juga dari negara lain seperti Jepang, Amerika Serikat, dan
Swiss. Di sanggar yang dirikan tahun 1973, ini setiap tahun meluluskan sekitar
100 siswa tari. Ia mempunyai cara agar tari klasik Bali tetap dipelajari
generasi muda, yaitu menggunakan gamelan dan gong sebagai pengiring gerakan. Ia
tak memakai hitungan untuk setiap gerakan yang dilakukan, Dengan iringan
gamelan, anak-anak merasa sudah menari dan itu membuat mereka bersemangat.
Sejak tahun 1965 Ni Ketut Arini
menjalani misi kebudayaan ke berbagai negara. Bersama salah seorang muridnya
dari Amerika Serikat, Rucina Balinger, pada tahun 2004, bekerja sama mengangkat
kembali karya gurunya, I Nyoman Kaler, antara lain tari Panji Semirang,
Mregapati, Wiranata, Demang Miring, Candrametu, Puspawarna, Bayan Nginte,
Kupu-kupu Tarum, dan Legong Kebyar. Legong Kebyar sendiri pernah terkenal di
Bali, lalu hilang karena tak ada yang menarikannya. Keberadaan tarian itu hanya
diceritakan di buku-buku. Mereka kemudian menggali lagi karya Kaler lewat
simposium dan pementasan yang ditarikan tiga penari lanjut usia, dewasa, dan
remaja. Tahun 2010, mendokumentasikan enam tari Legong yang dikuasainya untuk
arsip Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI) Denpasar dan menjadi bahan ajar bagi
mahasiswa tari. (Sumber: Wikipedia)
Selain Sanggar Tari Bali Warini, masih ada sanggar tari lain yang ikut
melestarikan tari bali. Untuk daftar, klik link ini.
Sekian dari info di atas, penulis mengucapkan terima kasih.
Peran Serta Sanggar Tari untuk Pelestarian Kesenian Tari
Reviewed by gedehari
on
4:29 AM
Rating:
No comments: